Jumat, 21 September 2018

MENYAMPAIKAN ‘ILMU SYAR’IYAH


وَاطْلُبْ لِعِلْمِ ثُمَّ لَقِّنْهُ الوَرَى  عَظَّمْ كَلَامَ الرَّبِّ وَاطْهُرْتُعْصَمُ
Penulis kitab syarah قمع التغيان , yaitu Syekh Nawawi Albantani Aljawi menjelaskan bagaimana menyampaikan ‘ilmu syar’iah (ثُمَّ لَقِّنْهُ الوَرَى), karena sesuai dengan sabda Rosulalloh SAW : “Sebaiknya, orang yang sudah melihat / mendengarkan ‘ilmu langsung dari guru / ‘ulama untuk menyampaikannya lagi kepada orang diantara kalian yang tidak hadir pada saat ‘ilmu tersebut disampaikan.” Artinya wajib kepada orang yang telah mendengarkan suatu ‘ilmu untuk menyampaikan lagi kepada orang yang tidak mendengarkannya. Hadist tersebut di atas itu disampaikan Rosulalloh SAW kepada para sohabat, lalu disampaikanlah lagi kepada kepada orang-orang setelah zaman sohabat, hingga sampai hari qiyamat. Maka wajib menyampaikannya oleh ahli ‘ilmu.
Maka jika setiap orang mempelajari suatu masalah, maka dari itu haruslah kepada ahli ‘ilmu untuk memecahkan masalahnya tersebut. Setiap orang pada umumnya yang mengetahui syarat praktek sholat baiknya memberitahukannya kepada selain orang yang sudah tahu (memberitahukan kepada yang belum tahu). Dan jika yang sudah mengetahui syarat praktek sholat tersebut tidak memberitahukannya itu adalah sama saja dengan sekumpulan orang-orang yang berdosa.
Dan wajib disetiap masjid dan tempat (majlis) di dalam sebuah kampung mempunyai seorang guru untuk menyampaikan ‘ilmu kepada sesama manusia yang belum mendapatkan ‘ilmu tersebut dan agar dapat dimanfa’atkan oleh sesama manusia. Dan hal yang sama disetiap kampung itu wajib kepada setiap orang yang ber’ilmu (guru) menyelesaikan / menyampaikan ‘ilmu-‘ilmu fardhu ‘ain sejalan dengan fardhu kifayah, serta mendatangi kampung tetangga (jika di kampung tetangga tidak ada seorang guru) untuk menyampaikan ‘ilmu kepada mereka, agamanya, fardhu-fardhu bangsa syara’nya, dan si guru itu harus menjadikannya sahabat, dan jika ke kampung tetangga si guru itu membawa bekal makanan sendiri, dan sebaiknya jangan (terutama berharap disuguhi) makan dari makanan tetangganya si guru, maka jika si guru tersebut punya satu niat demikian, maka gagallah melebur dosa yang telah dilakukannya (karena niat berguru dan menggurui itu dapat meleburkan dosa yang telah dilakukan). Tidak bakal tanggal dosa perdosaan semuanya.
Ada pun seorang ‘ulama itu sangat berhati-hati menyampaikan suatu ‘ilmu dan juga terhadap hal-hal yang tadi jika keluar kampung.
Ada pun orang yang bodoh itu sebaiknya berhati-hati jika tidak ikut menimba ‘ilmu (berguru).
Hal-hal terbebut telah dituturkan oleh Syekh Ahmad Assuhaemi saat menuqil sebuah kitab Imam Gozali.
Perlu diketahui bahwasanya orang ‘alim akherat itu terdapat tiga ciri :
1.     Tidak mencari dunya dengan ‘ilmunya
2.     Berniat hanya dengan ‘ilmu-‘ilmu untuk kebahagiaan ukhrowiyah (bangsa akherat) saja, maka mereka juga itu menyandingkan dengan ilmu bathin karena menyangkut rahasia-rahasia qolbu / hati.
3.     Mereka menekankan didalam penyampaian ‘ilmunya itu taqlid (mengikuti) ‘ulama / guru karena mencontohi syar’iyah didalam perkataannya dan tingkahnya.
Maka pertingkah tidak mencari dunya dengan ‘ilmunya itu ada lima tanda-tanda, yaitu :
1.     Tidak mengikuti ucapannya dalam tingkah lakunya, maka mereka memulai kerjaannya sesuai yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang tidak diperbolehkan
2.     Terus-terusan dengan ‘ilmu yang kira-kira sekemampuannya, suka melaksanakan to’at (bakti) dan menjaga ‘ilmunya dari banyaknya perdebatan
3.     Menjauhi dari enak-enaknya makanan, rumah, harta benda dan tempat tinggal
4.     Menjauh dari bercampur dengan pemimpin, kecuali hanya karena untuk menasehati saja, mencegah penganiayaan atau karena menolong dalam mencari keridhoan Alloh SWT saja
5.     Tidak cepat-cepat untuk mengeluarkan fatwa, sebaliknya ia menjawab karena hati-hati apa-apa yang ditanyakan orang tentang yang ahli fatwa, mencegah dari kehati-hatiannya jika tidak jadi fardhu ‘ain kepadanya, malah sebaliknya menjawab “saya tidak mengetahui!” takala tidak mudahnya dalam kehati-hatiannya.

Mohon ma’af bila ada salah penafsiran, hal itu semata-mata dari hamba yang dho’if dan fakir oleh ‘ilmu......
8 Muharrom 1440 H / 18 September 2018 M.
Dituqil dari kitab            : قمع التغيان
Karangan                      : Syekh Nawawi Albantani Aljawi
Bab                              : Cabang Iman ke-18 tentang Menyampaikan ‘ilmu syar’iyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar