Selasa, 25 September 2018

BERSUCI SECARA TASOUF




وَاطْلُبْ لِعِلْمِ ثُمَّ لَقِّنْهُ الوَرَى  عَظَّمْ كَلَامَ الرَّبِّ وَاطْهُرْ تُعْصَمُ
Bersuci (وَاطْهُرْ تُعْصَمُ) adalah termasuk cabang iman yang ke-20 dalam kitab syarah قمع التغيان karangan Syekh Nawawi Albantani Aljawi.
Telah berfirman Alloh SWT :
يأ يها الذين آ منوا اذا قمتم  الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق وامسحوا برءكوسكم وأرجلكم الى الكعبين وان كنتم جنبا فا طهروا وان كنتم مرضى او على سفر او جاء أحد منكم من الغا ءط او لا مستم لنساء فلم تجدوا ما ء فتيمموا صعيدا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه
Ma’nanya wallohu a’lamu bihaqiqotil murodh...
Telah bersabda Rosulalloh SAW : الطهور شطر الايمان
 “Bersuci itu adalah sebagian daripada iman.”
Telah berkata Syekh Suhaemi : “lafazd الطهور  dengan dhomah tho, artinya berwudhu sebangsa dzohiriah dan bathiniah, itu adalah sebagian iman yang diibaratkan mendapatkan ganjaran (pahala).”
Telah berkata Syekh Hatim li’ashom Bin Yusuf : “dimana-mana telah hadir / datang waktu sholat, maka berwudhulah dengan dua wudhu, yaitu wudhu dzohir dan wudhu bathin.”
Telah bertanya Syekh ‘Ashom kepada beliau : “seperti apakah berwudhu dzohir ? dan seperti apakah berwudhu bathin ?”
Kemudian Syekh Hatim li’ashom Bin Yusuf menjawab :
“Adapun yang dimaksud dengan wudhu dzohir itu adalah cukup dengan berguru untuk mengetahui bagaiman tata cara berwudhu secara lahiriah kepada seorang guru, bagaimana peraktek-perakteknya, itu biasanya diatur dalam piqih, seperti dalam kitab safinatun naja, kitab riyadhul badi’ah, dll.”
“Adapun yang dimaksud wudhu bathin maka itu adalah engkau harus bertobat, meninggalkan malas-malasan, meninggalkan unek-unek (iri hati; dengki), tidak menipu (berbohong), tidak ragu-ragu (bimbang), tidak takabur (sombong), meninggalkan terlalu cinta / senang pada kedunyawian, meninggalkan ingin selalu disanjung oleh sesama makhluq, meninggalkan keinginan untuk jadi seorang pemimpin, dll.“
Sebagaimana dengan bahasan tadi, pengarang kitab, yaitu Syekh Nawawi Albantani Aljawi menerangkan bahwa lafadz تعصم dengan dhomah mim itu adalah untuk memantaskan mubtada pada tempat jazm fi’il amar. Sedangkan takdirnya adalah فأنت تعصم من البلاء (maka engkau telah dijaga dari segala musibah). Maka sesungguhnya bersuci itu mencegah dari segala musibah.
Seperti telah meriwayatkan sebagian ‘ulama : telah berkata Sayyidina ‘Umar RA, “Sesungguhnya wudhu yang bagus (benar sesuai dengan bahasan-bahasan di atas) itu akan menguncimu dari godaan syaeton....”
Demikian disampaikan tentang tuqilan cabang iman ke-20 ini, mohon ma’af bila ada salah penafsiran, hal itu semata-mata dari hamba yang dho’if dan fakir oleh ‘ilmu......
14 Muharrom 1440 H / 24 September 2018 M.
Dituqil dari kitab          : قمع التغيان
Karangan                    : Syekh Nawawi Albantani Aljawi
Bab                            : Cabang Iman ke-20 tentang Bersuci

MENGAGUNGKAN DAN MEMULYAKAN AL-QURAN




وَاطْلُبْ لِعِلْمِ ثُمَّ لَقِّنْهُ الوَرَى  عَظَّمْ كَلَامَ الرَّبِّ وَاطْهُرْ تُعْصَمُ
Barang siapa mengagungkan dan memulyakan Al-Quran (عَظَّمْ كَلَامَ الرَّبِّ), dan orang tersebut sedang mambaca Al-Quran, haruslah ia dalam keadaan bersuci, tidak boleh memegang Al-Quran kecuali dalam keadaan suci, bersiwaklah dan membersihkan sela-sela gigi ketika hendak membaca Al-Quran, dan berniatlah untuk membaca Al-Quran sambil duduk jikalau tidak dalam selain solat. Dan janganlah bergerak-gerak dan sedang mengenakan pakaian walaupun merapih-rapihkannya (jika sedang membaca Al-Quran), karena sesungguhnya engkau sedang berbicara dengan Robb mu, dan menghadaplah ke arah qiblat ketika sedang membaca Al-Quran. Sebaiknya berkumur-kumur bilamana akan memulai, tahanlah jika menguap karena mengantuk ketika sedang mambaca Al-Quran, sebaiknya membaca dengan ringan hati dan tartil, dan bacalah setiap hurup sesuai dengan haq-haqnya masing-masing hurup (sesuai makhrojnya).
Dan janganlah meninggalkan Al-Quran berserakan ketika menyimpannya, jangan menyimpan sesuatu pun di atas Al-Quran dari kitab-kitab lain, sehingga Al-Quran itu pertama berada paling atas dari semua kitab-kitab.
Jangan menyimpan Al-Quran didalam pangkuan ketika sedang membacanya, atau simpanlah sesuatu benda (contoh; papan) diantara tangan, jangan menyimpannya langsung di atas bumi / lantai, jangan dicampur / disimpan dari papan yang ada ludahnya, sebaliknya papan tersebut dicuci dahulu dengan air.
Jangan membaca Al-Quran di pasar dan jangan juga di rumah yang sedang ramai dan rumahnya orang bodoh (tidak mengerti).
Sebaiknya jangan menuangkan / mencuci / membasuh takala membasuh dengan tulisan Al-Quran (yang direndam dalam air) dengan maksud untuk menyembuhkan orang yang sakit di tempat yang ada najisnya dan tempat yang kotor, akan tetapi sebaiknya di tempat yang sepi di atas bumi dalam sebidang tanah yang belum pernah dijamah oleh manusia, atau menggali lubang di dalam suatu tempat yang masih suci, sampai menuangkan air tersebut untuk badannya orang yang sakit tadi di atas lubang untuk kemudian mengerjakan hal tadi, atau sebaiknya mengerjakannya di sungai yang besar agar tercampur air tersebut dengan sungai, maka akan ikut mengalir bersama sungai.
Sebaiknya bacalah kalimat Alloh di setiap-tiap tarikan nafas takala sedang menulis Al-Quran atau meminum air yang ada rendaman ayat Al-Quran atau air yang sudah dibacakan ayat Al-Quran.
Agungkan lah niatnya didalam hal-hal tersebut di atas (mengagungkan Al-Quran sabagai ayat-ayat Alloh SWT), maka sesungguhnya Alloh SWT mengabulkan atas kadar niatnya.
Demikian disampaikan tentang tuqilan kitab yang menerangkan tentang cabang iman ke-19 ini, mohon ma’af bila ada salah penafsiran, hal itu semata-mata dari hamba yang dho’if dan fakir oleh ‘ilmu......
11 Muharrom 1440 H / 21 September 2018 M.
Dituqil dari kitab            : قمع التغيان
Karangan                      : Syekh Nawawi Albantani Aljawi
Bab                              : Cabang Iman ke-19 tentang mengagungkan dan memulyakan Al-Quran

Jumat, 21 September 2018

MENYAMPAIKAN ‘ILMU SYAR’IYAH


وَاطْلُبْ لِعِلْمِ ثُمَّ لَقِّنْهُ الوَرَى  عَظَّمْ كَلَامَ الرَّبِّ وَاطْهُرْتُعْصَمُ
Penulis kitab syarah قمع التغيان , yaitu Syekh Nawawi Albantani Aljawi menjelaskan bagaimana menyampaikan ‘ilmu syar’iah (ثُمَّ لَقِّنْهُ الوَرَى), karena sesuai dengan sabda Rosulalloh SAW : “Sebaiknya, orang yang sudah melihat / mendengarkan ‘ilmu langsung dari guru / ‘ulama untuk menyampaikannya lagi kepada orang diantara kalian yang tidak hadir pada saat ‘ilmu tersebut disampaikan.” Artinya wajib kepada orang yang telah mendengarkan suatu ‘ilmu untuk menyampaikan lagi kepada orang yang tidak mendengarkannya. Hadist tersebut di atas itu disampaikan Rosulalloh SAW kepada para sohabat, lalu disampaikanlah lagi kepada kepada orang-orang setelah zaman sohabat, hingga sampai hari qiyamat. Maka wajib menyampaikannya oleh ahli ‘ilmu.
Maka jika setiap orang mempelajari suatu masalah, maka dari itu haruslah kepada ahli ‘ilmu untuk memecahkan masalahnya tersebut. Setiap orang pada umumnya yang mengetahui syarat praktek sholat baiknya memberitahukannya kepada selain orang yang sudah tahu (memberitahukan kepada yang belum tahu). Dan jika yang sudah mengetahui syarat praktek sholat tersebut tidak memberitahukannya itu adalah sama saja dengan sekumpulan orang-orang yang berdosa.
Dan wajib disetiap masjid dan tempat (majlis) di dalam sebuah kampung mempunyai seorang guru untuk menyampaikan ‘ilmu kepada sesama manusia yang belum mendapatkan ‘ilmu tersebut dan agar dapat dimanfa’atkan oleh sesama manusia. Dan hal yang sama disetiap kampung itu wajib kepada setiap orang yang ber’ilmu (guru) menyelesaikan / menyampaikan ‘ilmu-‘ilmu fardhu ‘ain sejalan dengan fardhu kifayah, serta mendatangi kampung tetangga (jika di kampung tetangga tidak ada seorang guru) untuk menyampaikan ‘ilmu kepada mereka, agamanya, fardhu-fardhu bangsa syara’nya, dan si guru itu harus menjadikannya sahabat, dan jika ke kampung tetangga si guru itu membawa bekal makanan sendiri, dan sebaiknya jangan (terutama berharap disuguhi) makan dari makanan tetangganya si guru, maka jika si guru tersebut punya satu niat demikian, maka gagallah melebur dosa yang telah dilakukannya (karena niat berguru dan menggurui itu dapat meleburkan dosa yang telah dilakukan). Tidak bakal tanggal dosa perdosaan semuanya.
Ada pun seorang ‘ulama itu sangat berhati-hati menyampaikan suatu ‘ilmu dan juga terhadap hal-hal yang tadi jika keluar kampung.
Ada pun orang yang bodoh itu sebaiknya berhati-hati jika tidak ikut menimba ‘ilmu (berguru).
Hal-hal terbebut telah dituturkan oleh Syekh Ahmad Assuhaemi saat menuqil sebuah kitab Imam Gozali.
Perlu diketahui bahwasanya orang ‘alim akherat itu terdapat tiga ciri :
1.     Tidak mencari dunya dengan ‘ilmunya
2.     Berniat hanya dengan ‘ilmu-‘ilmu untuk kebahagiaan ukhrowiyah (bangsa akherat) saja, maka mereka juga itu menyandingkan dengan ilmu bathin karena menyangkut rahasia-rahasia qolbu / hati.
3.     Mereka menekankan didalam penyampaian ‘ilmunya itu taqlid (mengikuti) ‘ulama / guru karena mencontohi syar’iyah didalam perkataannya dan tingkahnya.
Maka pertingkah tidak mencari dunya dengan ‘ilmunya itu ada lima tanda-tanda, yaitu :
1.     Tidak mengikuti ucapannya dalam tingkah lakunya, maka mereka memulai kerjaannya sesuai yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang tidak diperbolehkan
2.     Terus-terusan dengan ‘ilmu yang kira-kira sekemampuannya, suka melaksanakan to’at (bakti) dan menjaga ‘ilmunya dari banyaknya perdebatan
3.     Menjauhi dari enak-enaknya makanan, rumah, harta benda dan tempat tinggal
4.     Menjauh dari bercampur dengan pemimpin, kecuali hanya karena untuk menasehati saja, mencegah penganiayaan atau karena menolong dalam mencari keridhoan Alloh SWT saja
5.     Tidak cepat-cepat untuk mengeluarkan fatwa, sebaliknya ia menjawab karena hati-hati apa-apa yang ditanyakan orang tentang yang ahli fatwa, mencegah dari kehati-hatiannya jika tidak jadi fardhu ‘ain kepadanya, malah sebaliknya menjawab “saya tidak mengetahui!” takala tidak mudahnya dalam kehati-hatiannya.

Mohon ma’af bila ada salah penafsiran, hal itu semata-mata dari hamba yang dho’if dan fakir oleh ‘ilmu......
8 Muharrom 1440 H / 18 September 2018 M.
Dituqil dari kitab            : قمع التغيان
Karangan                      : Syekh Nawawi Albantani Aljawi
Bab                              : Cabang Iman ke-18 tentang Menyampaikan ‘ilmu syar’iyah

Senin, 17 September 2018

MENCARI ‘ILMU



وَاطْلُبْ لِعِلْمِ ثُمَّ لَقِّنْهُ الوَرَى  عَظَّمْ كَلَامَ الرَّبِّ وَاطْهُرْتُعْصَمُ

Dalam hal ini pengarang kitab قمع التغيان yaitu Syekh Muhammad Nawawi Albantani Aljawi, yaitu syarah dari kitab nadzom شعب الايمان karangan dari Syekh Zaenuddin Almalabari, menjelaskan tentang cabang iman yang ke tujuh belas, yaitu tentang Tolabul ‘ilmi (mencari ‘ilmu - وَاطْلُبْ لِعِلْم ).
Dari ‘Abdulloh Bin Mas’ud berkata, telah bersabda Rosulalloh SAW : “Barang siapa mencari ‘ilmu satu bab dari ‘ilmu-‘ilmu, kemudian mengambil manfa’at dari ‘ilmu tersebut untuk urusan akheratnya maupun dunyanya, maka akan lebih baik kepada orang tersebut dari pada urusan-urusan dunya selama tujuh ribu tahun berpuasa pada waktu siang hari dan ber’ibadah pada malam harinya, adapun ‘ibadah-‘ibadah tersebut semuanya diterima tidak ada yang ditolaq.”
Dari Mu’adz Bin Jabal berkata, bersabda Rosulalloh SAW : “Carilah ‘ilmu oleh kalian, maka sesungguhnya mencari ‘ilmu karena Alloh SWT semata itu adalah hal yang baik. Membaca ‘ilmu itu tasbih, dan membicarakan ‘ilmu itu jihad, dan mencari ‘ilmu itu ‘ibadah, dan menyampaikan ‘ilmu itu sodaqoh, dan mendekati ‘ulama dan keluarganya itu akan membuat lebih dekat (gampang mencari ‘ilmu), dan berfikir tentang ‘ilmu itu setara dengan ber’ibadah puasa, dan bermusyawaroh tentang ‘ilmu itu sepadan dengan ber‘ibadah dimalam hari.”
Dan bersabda lagi Rosulalloh SAW : “Carilah engkau ‘ilmu walaupun jalan antara engkau dengan tempatnya ‘ilmu itu terdapat lautan dari api!”
Dan bersabda lagi Rosulalloh SAW : “Carilah ‘ilmu sejak mulai dilahirkan ke dunya sampai saat diquburkan.” Artinya carilah ‘ilmu disetiap waktu dan berbagai hal.
Telah berkata sebagian ‘ulama salaf, jenis ‘ilmu itu ada empat macam :
  1.   ‘ilmu fiqih untuk agama
  2.   ‘ilmu dokter untuk kesehatan badan
  3.   ‘ilmu nujum untuk mengetahui zaman
  4.   ‘ilmu nahwu untuk mempelajari bahasa

Perlu diketahui, sesungguhnya untuk mendapatkan ‘ilmu yang bemacam-macam, pertama mencari ‘ilmu, kedua mendengarkan ‘ilmu yang disampaikan.
Maka yang pertama disebut mencari ‘ilmu adalah yang menghasilkan ‘ilmu dengan terus menerus mempelajarinya dan membaca Alquran dengan cara belajar kepada guru-guru.
Dan yang kedua disebut mendengarkan ‘ilmu adalah berguru kepada para ‘ulama dengan cara mendengarkan ‘ilmu yang disampaikan, baik permasalahan agama maupun dunya.
Hal ini tidak akan mendapatkan ‘ilmu kecuali dengan mencintai para ‘ulama dan bercampur baur dengan para ‘ulama, dan duduk di majlisnya para ‘ulama, dan bertanyalah kepada para ‘ulama. Dan wajib berguru sunguh-sungguh berniat dengan ingin menghasilkan ‘ilmu untuk mendapat ridho Alloh SWT untuk mencapai desa akherat dan menghilangkan kebodohan dari diri pencari ‘ilmu dan dari seluruh kebodohan, dan menghidupkan agama, dan tetap teguh beragama islam dengan ‘ilmu. Dan juga berniatlah untuk mencari ‘ilmu itu karena syukur ni’mat sehat ‘aqal dan sehat badan. Dan janganlah berniat karena ingin hanya terlihat oleh manusia saja dan tertarik benda dunya, dan hanya memulyakan disebelah pemimpin saja, serta hal-hal sejenisnya selain ha-hal tersebut.
Mohon ma’af bila ada salah penafsiran, hal itu semata-mata dari hamba yang dho’if dan fakir oleh ‘ilmu......
3 Muharrom 1440 H / 13 September 2018 M.
Dituqil dari kitab            : قمع التغيان
Karangan                      : Syekh Nawawi Albantani Aljawi
Bab                              : Cabang Iman ke-17 tentang Mencari ‘ilmu

Kamis, 06 September 2018

WASIAT ROSULALLOH SAW KEPADA SEORANG LELAKI


Berkata ahli fiqih, yaitu Abu Allaesa Assamarqondi Rodiyallohu ‘anhu, sdh menyampaikan kepada kami ahli fiqih, yaitu Abu Ja’far, sdh menyampaikan kepada kami ahli fiqih, yaitu Abu Alqosim Ahmad Bin Muhammad, sdh menyampaikan kepada kami ahli fiqih, yaitu Muhammad Bin Salmata, sdh menyampaikan kepada kami ahli fiqih, yaitu ‘Abdul A’la, sdh menyampaikan kepada kami ahli fiqih, Ya’qub Bin ‘Abdulloh Alqomiy dari Laesa dari Mujahid dari ‘Abi Sa’idil Khudri rodiyallohu ‘anhu berkata : telah datang seorang laki-laki kepada Nabi Muhammad SAW, maka berkatalah laki-laki itu : “yaa Rosulalloh, moga-moga Tuan memberikan wasiat kepadaku”.
Menjawab Rosul SAW:
v  tetaplah kau bertaqwa kpd Alloh SWT, maka sesungguhnya dgn bertaqwa kpd Alloh SWT itu adalah mengumpulkan segala kebaikan (berkata Alfaqih, ma’na : tetaplah kau bertaqwa kpd Alloh SWT adalah melaksanakan ‘amanat bertaqwa dari Alloh SWT kpd mu dan mengamalkan perintah-perintah Alloh SWT dgn bertaqwa, maka ketika melaksanakan pekerjaan itu, maka akan terkumpullah semua kebaikan-kebaikan);
v  dan tetaplah kau berjihad, maka sesungguhnya berjihad itu adalah sebagai pertanda muslim atau orang islam;
v  dan tetaplah kau berdzikir kpd Alloh SWT dan membaca Alquran, maka sesungguhnya pekerjaan itu menjadikan cahaya untuk mu di bumi dan berdjikir untuk mu apa-apa yg ada di langit;
v  dan jagalah lisan mu kecuali dari hal-hal yg bagus, maka sesungguhnya dgn berbuat hal demikian itu mengalahkan syaeton.... (berkata Alfaqih, ma’na jagalah lisan mu kecuali dari hal-hal yg bagus yaitu menjaga lisan mu dari hal-hal yg tidak baik dan berkata kecuali hanya dari hal-hal yg baik saja, artinya berkata-kata yg baik saja sehingga berfaedah, atau sebaiknya diam saja sehingga selamat, maka sesungguhnya akan mendapat keselamatan dalam berdiam. Ketahuilah kelakuan insan-insan itu tidak dikalahkan oleh syaeton kecuali dengan berdiam....., maka sepantasnyalah jaga lisanmu sehingga dapat menjaganya dari syaeton dan Alloh SWT menutupmu dari ‘aurot lisanmu.
Wallohu a’lamu..
Dituqil dari kitab Tanbihul gofilin bab Menjaga Lisan karangan Alfaqih Azzahid Al’alim Al’amil wal ustadz Almuhaddist Almuttaqin Alkamil Maulana Syekh Nashor Bin Muhammad Bin Ibrohim Assamarqondi Rodiyallohu ‘anhu Aamiin...
Maaf jika ada salah kata dalam penafsiran, itu semata-mata dari hamba yg dho’if...

25 Dzulhijjah 1439 H
06 September 2018 M